UJIAN GURU SUFI
Ilmu rahasia Ketuhanan tidak didapat dengan mudah tapi dengan kesungguhan
karena memang perjalanan kepada Allah akan melewati rintangan dan hambatan,
hanya orang yang tingkat keseriusan tinggi bisa melewatinya. Seorang Guru Sufi
dalam menerima murid juga akan melihat tingkat keseriusannya dan tentu saja
Guru akan memberikan ilmu menurut kemampuan masing-masing murid. Ujian dari
Guru Sufi kepada murid-muridnya berbeda satu sama lain. Berikut ini menarik
untuk disimak kisah berguru Asy-Syibli kepada Junaid (Junaidi al-Baghdadi) yang
saya kutip dari dialog antara keduanya dalam kisah itu menarik untuk disimak
dan dijadikan bahan pelajaran bagi kita dalam berguru.
Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.
Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly. Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.
Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan.Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.
Maka Junaid pun menjawab:
“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”
Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”
Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”
Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid:
“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”
Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”
Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.
Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”
Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”
Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”
Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.
Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly. Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.
Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan.Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.
Maka Junaid pun menjawab:
“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”
Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”
Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”
Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid:
“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”
Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”
Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.
Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”
Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”
Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”
No comments:
Post a Comment