TAKWA DALAM PANDANGAN GURU SUFI
Taqwa Dalam Pandangan Guru Sufi
ya AllahAnda bisa mencari definisi Taqwa lewat buku-buku atau bisa search di Google, disana akan banyak pembahasan tentang taqwa. Kali ini saya tidak focus membahas denisifi-difinisi itu karena saya yakin anda sudah sangat paham dan memiliki referensi yang sangat lengkap. Saya ingin mengajak anda memaknai taqwa dari pandangan Guru Sufi.
Guru Sufi mengatakan, “Orang yang telah mencapai tahap Taqwa, tidak ada perasaan berat baginya dalam melakukan ibadah yang diperintahkan Allah”. Berarti taqwa bisa didenisikan sebagai kondisi dimana seorang hamba melakukan perintah Allah dengan senang hati bahkan memiliki gairah dalam ibadah tersebut.
Gairah dalam beribadah sangat mudah di temukan dalam komunitas sufi, mereka melakukan ibadah-ibadah sunnat dalam jumlah yang banyak. Ada sufi yang mengerjakan shalat tengah malam ratusan rakaat, sementara ada yang mengerjakan puasa secara terus menerus. Dalam kitab “Kasful Mahjub” diceritakan ada seorang sufi ketika memasuki bulan Ramadhan hanya berbuka puasa 2 kali. Dia selama 15 hari tidak makan dan minum dan berbuka pada pertengahan Ramadhan, kemudian melanjutkan puasa dan berbuka ketika memasuki Hari raya, padahal tiap malam dia menjadi imam shalat tarawih. Tubuh dari sufi yang telah memiliki kecintaan mendalam kepada Tuhan adalah sebuah misteri yang sulit diungkapkan dengan akal fikiran manusia.
Tidak usah terlalu jauh menyelami dunia sufi ratusan tahun yang lalu seperti yang diceritakan oleh kitab-kitab tasawuf klasik, di zaman ini saya ikut menyaksikan sendiri bagaimana Guru Sufi berdzikir selama 3 hari 3 malam tanpa berhenti dalam ruang khusus dan Beliau berhenti berdzikir ketika melakukan shalat fardhu. Saya juga menyaksikan sendiri sahabat-sahabat saya yang melakukan puasa selama 7 hari 7 malam tanpa makan dan minum tapi masih tetap bisa melakukan aktifitas sehari-hari dan mereka melakukan ibadah-ibadah khusus itu dengan penuh gairah.
Bagaimana mungkin kita bisa menuduh kaum sufi meninggalkan syariat sementara dalam keseharian mereka tidak pernah meninggalkan ibadah-ibadah pokok bahkan memperbanyak ibadah-ibadah yang sunnat.
“Hai orang-orang beriman, bertqwalah kamu kepada Allah dan carilah Wasilah (jalan kepada Allah), bersungguh-sungguh lah engkau di jalan itu, pasti engkau akan mendapat kemenangan”. (QS. Al-Maidah, 35).
Kalau kita menyimak surat al-maidah 35 akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang tuduhan yang dilancarkan kepada pengamal tarekat yang meninggalkan ibadah-ibadah wajib, tuduhan itu tidak masuk akal sama sekali. Hanya orang beriman yang sudah mencapai tahap taqwa yang diperintahkan oleh Allah untuk mencari wasilah, melanjutkan tingkatan ibadah agar menemukan gairah-gairah baru sehingga terasa surga Allah yang maha tinggi menghampiri qalbu dari hamba.
Makanya ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa untuk bisa menekuni tarekat harus sempurna syariat terlebih dahulu, sudah terbiasa melakukan ibadah-ibadah wajib dengan senang hati barulah belajar ilmu tarekat, melanjutkan ke tahap lebih khusus dengan ibadah-ibadah khusus. Tapi karena sifat penyayang dari guru mursyid, maka Beliau menerima siapa saja yang ingin menekuni tarekat tanpa membeda-bedakan satu sama lain. Walaupun di awal belajar Guru dengan tegas mengatakan “Disini tidak memerlukan murid, kalau ingin belajar ikuti aturan yang ada”, ucapan Beliau itu untuk menguji tingkat keseriusan seorang murid.
Nasehat yang seringkali saya dengar dari Guru adalah, “Tambahi ilmu mu dan jaga syariat mu”, artinya seorang murid harus meng-upgrade ilmu-ilmu lain tentang apapun dan juga selalu menjaga syariat Islam dengan baik. Bahkan Beliau mengatakan “Sempurnakanlah ilmu mu agar engkau sempurna men-Tauhid-kan Tuhan”. Kenapa tidak semua orang yang belajar terakat itu bisa mencapai tahap makrifat bahkan gugur di tengah jalan, tidak jarang memushui tarekat, jawabanya bisa di baca di tulisan Jangan Hanya Sekedar menjadi Aksesoris.
No comments:
Post a Comment