head

Tuesday, January 23, 2018

Ilmu Kesempurnaan Menggapai Kesadaran Roh

http://dapalan.com/Hlxl






Seperti rerumputan, aku tumbuh berkali-kali ditepian
sungai yang deras mengalir
Selama ribuan tahun aku hidup, berkarya
Dan berusaha dalam beraneka ragam tubuh
Waktu melaju tiada henti-hentinya,
seperti setetes air aku menyatu dengan lautan
Tapi saksikanlah bagaimana aku menyatu dari situ
Sebagaimana embun aku melayang-layang
diatas samudera keabadian
Dan muncul sebagai gelombang yang menderu dilautan

-Mansyur Al Hallaj-

Manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati akan lebih mudah mengenal tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasi pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini. Mari kita bedah hal ini secara lebih detail dengan tujuan agar kita bisa bertambah wawasan sekaligus berani mencoba untuk meluruskan NIAT DAN LAKU MENEMBUS ALAM MIKRAJ….

Sangat banyak faktor yang dapat menghambat evolusi jiwa/ruhani kita dalam pencapaian tingkat yang lebih sempurna. Agar di dalam menghadap menuju Sang Sumber penuh dengan kepasrahan untuk menyatu ke dalam relung-relung keabadian. Faktor penghambat itu antara lain adalah gambaran, khayalan, lamunan atau anggapan-anggapan yang merintangi dan menghalangi atau mengganggu diri kita dalam mencapai derajat tinggi disisiNya. Haruslah segala rintangan itu dibuang jauh-jauh, harus disingkirkan. Segala emosi yang melekat pada diri kita disaat berinteraksi dengan keduniaan, hapuslah semuanya. Supaya jiwa kita dan semangat kita berkembang dengan teguh serta bebas sehingga dapat memantapkan kepercayaan kepada diri pribadi kita sebagaimana yang telah kita saksikan di alam Mi’raj.

Adapun yang sering menimbulkan halangan itu adalah berasal dari diri sendiri, yaitu perasaan kita yang sering merasa kecewa, marah, ragu, merasa rendah, dhaif, merasa bodoh, bimbang, khawatir, suka, duka dan gembira yang selalu mudah untuk dikuasai oleh emosi kita. Hal ini merintangi diri kita dalam penyaksian terhadap NUR ILAHI yang sangat jauh dari cacat dan kekurangan sedikitpun. Buanglah jauh-jauh pikiran yang menganggap remeh apa yang telah kita saksikan, memang setiap individu berbeda-beda kadar penyaksiannya, tetapi bagi kita yang belum mencapai tingkat penyaksian yang sempurna atau sedikitnya tawhid (menyatu) terhadap Cahaya yang kita saksikan untuk memasuki lorong NURUN ALA NURRIN dalam gilang-gemilang kemegahan Cahaya-Nya, jangan lantas berpikir Cahaya yang ada di dalam diri kita itu kalah dengan Cahaya yang ada di luar.

Itu adalah suatu hal yang amat buruk dan keburukannya (akibatnya) akan menimpa dirinya sendiri. Berusahalah dengan kesungguhan yang mantap memperkuat karep (tekad) kita dalam mengikuti kehendak Tuhan, dengan tuntunan kitab yang ada dalam diri pribadi kita masing-masing. Muliakanlah, Agungkanlah, sanjunglah dan hormatilah sebagai barang yang amat berharga yang ada pada diri pribadi kita. Tebalkanlah keyakinan kita dan sentausakanlah Iman kita serta pergunakan kejujuran hati kita untuk menghindari perbuatan yang sesat. Usahakanlah agar kita selalu ingat dan waspada, bijaksana dan selalu berbuat kebajikan. Perhatikan hasil dan keuntungan yang keluar dari prosesnya pikiran pribadi yang baik (Positive Thingking), disertai dengan laku yang benar. Berdasarkan pada kesopanan dan kesantunan serta kejujuran, menggunakan pikiran yang tajam, jernih dan merdeka.

Singkirkanlah sifat-sifat yang buruk, yaitu menuruti hawa nafsu yang rendah dan juga hilangkanlah sifat-sifat yang mementingkan diri sendiri serta pandangan yang keliru dan picik. Bertindaklah untuk mengikuti jalan utama. Sempurnakanlah dalam memelihara keimanan yang teguh untuk mendekati dan memegang kesempurnaannya. Agar nanti kita tidak akan kekurangan penerangan dalam perjalanan menuju ketentraman dimana kita akan menerima warisan keberkahan yang abadi. Maka tiada lain bagi kita yang masih baru dalam mengenal dan berusaha akrab dengan diri pribadi kita, haruslah melatih diri dengan pekerti luhur, memberi dorongan kepada tujuan yang semestinya. Beruzlah atau Tafakur untuk berusaha membuang (melepaskan) beban sampah dikepala. Berkonsentrasi, kemudian mencurahkan segenap cipta kearah sasaran yang sering kita sebut RUPA SEJATI, sebagaimana kita semua saksikan.

Hendaklah TAFAKUR itu dilakukan dengan rutin dan dengan penuh kesungguhan dalam melewati fase-fase untuk mencapai tafakur sempurna yang penuh dengan kenikmatan. Karena telah mampu mengalahkan diri sendiri dari tabiat-tabiatnya kearah negatif (Nafsu rendah) dan membawa ke dalam pimpinan yang telah disinari Cahaya Keluhuran (Cahaya Nur Muhammad) Sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an, bahwa dalam diri setiap manusia ada rasul yang harus dijadikan panutan. “Ketahuilah bahwa pada engkau ada Rasul Allah, Dia dalam banyak urusan selalu mengikuti engkau, tetapi jika engkau tidak mengikuti dia tentulah engkau akan mendapat kesusahan, maka Allah menjadikan engkau Cinta kepada keimanan dan menjadikan Iman suatu hiasan dalam hatimu, dan menjadikan engkau benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Yang demikian itulah orang-orang yang mengikuti Jalan lurus.” (QS. Al Hujarat , 49 ayat 7 )

Untuk itulah, bagi para penempuh jalan spiritual harus terus-menerus istiqomah memperbaiki diri, meningkatkan kadar pencerahan ruhani kita agar evolusi ruhani kita semakin maju ketingkat/maqam yang lebih baik, dari hari kehari. Sehingga kita tidak mengalami stagnasi/berhenti ditempat atau bahkan mundur dan melupakan amanat yang telah diberikan, yaitu Cahaya yang ada pada diri kita masing-masing.

SIFAT 20

Sasaran evolusi ruhami manusia sesungguhnya adalah meningkatkan kemampuan sifat 20 yang dimiliki oleh Ruhani kita. Diri kita akan semakin peka dan sensitif apabila kita semakin sering berlatih, bertafakur, meditasi dan sering melakukan Laku Mi’raj. Diri sejati yang didiami oleh sifat Allah antara lain sifat Ilmu dan bashar, akan memberikan petunjuk kepada kita terhadap permasalahan yang kita hadapi. Sehingga petunjuk yang kita dapatkan menjadi solusi dan jalan keluar terhadap permasalahan kita. Apabila kita tertidur kemampuan dari Jiwa/ruhani kita akan lebih dominan atau bangkit.

Hal ini terjadi dikarenakan ruhani kita terlepas dari pengaruh fisik yang selama seharian selalu lebih dominan mempengaruhi hidup keseharian kita. Beliau juga menjelaskan perbedaan antara Mati, Tidur dan Tafakur serta Laku Mi’raj sangat tipis sekali perbedaannya. Perkara Mati, Tidur dan Tafakur (Mi’raj) sama-sama mengalami disfungsi pengaruh fisik. Mulai dari panca indra dan fungsi fa’al dalam diri kita. Perbedaan yang mencolok hanya pada proses mengalami SADAR atau tidak SADAR saat melepaskan pengaruh fisik dan fa’al pada diri kita.

Bila pengaruh fisik kita melemah, secara otomatis pengaruh ruhani kita akan menguat. Pengaruh ruhani inilah yang sering disebut dengan kemampuan Sifat 20. Ada sekitar 8 kemampuan/sifat yang muncul saat ruhani kita bangkit. Sifat ini adalah 8 dari 20 sifat yang kita kenal dalam pembahasan sifat 20. Sifat itu adalah sebagai berikut : Wujud (sifat 1), Baqa (kekal-sifat 3), Mukhalafah lil Hawadis (Tidak ada sama dengan apapun-sifat 4), Iradat (Kehendak/karsa-sifat 8), Hayat (Hidup-sifat 10), Sama’ (Mendengar-sifat 11) Bashar (Melihat-sifat 12), Qalam (Bersabda-sifat 13). Inilah kemampuan/sifat yang harus terus dipupuk sehingga semakin peka dan sensitif. Sehingga kita bisa untuk selalu ingat, Sabar dan Waspada terhadap segala ketentuan yang Allah tetapkan.

Dalam pandangan para Wali tanah Jawa, Roh manusia itu mengandung sifat dua puluh. Jadi sifat dua puluh hakikatnya diperuntukkan kepada manusia, karena sifat dari Maha Roh tidaklah terbatas, bukan terbatas hanya dua puluh sifat saja. Penjelasan sifat dua puluh menurut para Wali tanah Jawa, dapat diuraikan dengan penjelasan bahwa Sifat dua puluh dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu Wujud, yang dimasukkan dalam bagian Nafsiah, yang berarti kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil hawadits, Qiyamuhu bi nafsihi dan Wahdaniyah, yang dimasukkan dalam bagian Salbiyah, yang berarti keterangan dari kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Qalam, yang dimasukkan dalam bagian Ma’nawi, yang berarti kemampuan dari kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia. Qadiran, Muridan, ‘Alimun, Hayum, Sami’an, Bashiran dan Mutaqaliman, yang dimasukkan dalam bagian Ma’nawiyah, yang berarti keistimewaan dari kepribadian yang ditiupkan kepada Allah kepada manusia.

Jadi berdasarkan pembagian sifat dua puluh seperti tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Roh manusia itu ada Wujudnya, yaitu berupa Cahaya Yang Terang Benderang. Hal ini dikarenakan Roh manusia adalah bagian dari Maha Roh ( Allah ) dan kita telah membahas di awal tulisan ini, bahwa hakikat sesungguhnya dari Wujud Allah adalah Cahaya Diatas Cahaya atau Nurun ‘ala Nurin, sehingga Roh manusia yang merupakan bagian dari Maha Roh (Allah), Wujudnyapun adalah Cahaya. Dengan kata lain Roh manusia adalah percikan (emanasi) dari Cahaya Allah. Dalam doktrin tasawuf, Roh manusia sering disebut dengan istilah Nur Insan, sedangkan Allah sering disebut dengan Nur Allah. Nur Insan adalah percikan dari Nur Allah. Nur Insan (Roh manusia) ini mempunyai empat ciri (salbiyah) yaitu Qidam (tidak berawal dan berakhir), Baqa (kekal), Mukhalafatu lil hawadits (tidak serupa dengan apapun), Qiyamuhu bi nafsihi (bangkit dengan sendirinya), dan Wahdaniyah (tunggal).

Nur Insan (Roh manusia) ini juga mempunyai tujuh kemampuan (ma’nawi) yaitu Qudrat (kuasa), Iradat (kehendak), Ilmu (pengetahuan), Hayat (hidup), Sama’ (mendengar), Bashar (melihat) dan Qalam (berkata). Kemudian Nur Insan (Roh manusia) mempunyai tujuh keistimewaan (ma’nawiyah) yang diberikan oleh Maha Roh (Allah) yaitu Qadiran (Maha Kuasa), Muridan (Maha Berkehendak), ‘Aliman (Maha Berpengetahuan), Hayum (Maha Hidup), Sami’an (Maha Mendengar), Bashiran (Maha Melihat) dan Mutaqaliman (Maha Berkata). Keistimewaan tersebut diberikan Allah kepada manusia dengan syarat Roh manusia itu selalu berhubungan kepada-Nya. Keistimewaan ini bersifat “TANAZUL TARAQI” (turun naik) artinya keistimewaan tersebut hanyalah kehendak Allah semata dan biasanya keistimewaan ini muncul apabila Allah ingin memperlihatkan kekuasaannya kepada para makhluk-Nya.

Keberadaan Roh-Ku dalam jasmani manusia bersifat transenden dan imanen, artinya disatu sisi Roh-Ku tersebut berada dan menyatu dalam jasmani, disisi lain Roh-Ku tersebut berada di luar dan tidak menyatu dengan jasmani manusia. Inilah salah satu kelebihan Roh-Ku yang ditiupkan Allah kepada manusia. Ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam jasmani maka kedua bangunan itu saling berinteraksi, yang melahirkan kemampuan akal. Kata “Akal” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu “Iqal” yang berarti ikatan atau belengu. Akal merupakan suatu kemampuan dari tiga unsur ikatan yaitu cipta, rasa dan karsa.

TANAZUL(MENURUN)


Dzat Tuhan yang tidak bernama, karena tidak ada satu nama pun yang mampu mewakili keberadaanya. Maka ia di sebut Aku. Inilah tuhan sejati, hidup sejati, sebagaimana diidam-idamkan oleh syekh siti jenar. Inilah martabat ahadiyah dalam tataran martabat tujuh. Tuhan sejati atau Aku ini berdiri sendiri tiada berawal dan berakhir, serta maha esa. Dia sendiri dan ingin di kenal, namun tidak ada yang dapat mengenalnya karena tidak ada yang lain selain dirinya. Dia berkeinginan menciptakan makhluk agar makhluk tersebut mengenal-nya.

Tuhan menciptakan suatu makhluk dengan bahan dirinya, karena tidak ada bahan lain. Jadi makhluk yang akan dia ciptakan itu berasal dari dirinya sendiri, atau dengan kata lain makhluk itu bukan barang baru namun hanya penampakan lain dari rupa diri tuhan. Sebagaimana dijelaskan ibnu arabi awal penciptaan dimulai dengan iradah dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya idza araada syai’an an yaqulalahu kun fayakun (jika dia telah berkehendak terhadap sesuatu, cukup dia mengatakan jadi’maka jadilah ia) segala sesuatu di alam semesta ini menjadi ada karena irodat atau kehendak Tuhan.

Penampakan tuhan dalam kualitas menurun agar lebih mudah di kenal. Dzat Tuhan terlalu suci untuk dikenal, dan nama Allah merupakan jembatan atau jalan tengah agar dia dapat lebih mudah dikenal. Tahapan ini biasa disebut dengan Martabat Wahdah.

Tuhan turun agar semakin mudah dikenali yakni Nur Muhammad. Nur Muhammad pada tahapan ini bersifat mendua, yakni selalu berpasang-pasangan sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta. Tahapan ini biasa di sebut Martabat Wahidiyat. Bahan penciptaan alam semesta berasal dari Nur Muhammad pada martabat ini. Semuanya terkumpul menjadi satu.

Dari Nur Muhammad yang telah bersifat kemakhlukan ini, terurai menjadi bagian-bagian halus yang belum nampak. Itulah roh-roh atau alam arwah. Roh merupakan sumber kehidupan bagi tiap-tiap benda. Roh ini berasal langsung dari Tuhan, ibarat diembuskan dari dirinya. Kehidupan syarat mutlak bagi makhluk untuk dapat mengenal Tuhan, maka dia menjadikan roh-roh ini sebagai sumber kehidupan. Hidup makhluk ini berasal dari roh-roh ini.

Sumber kehidupan berupa roh ini tidak akan mampu mewakili keinginan Tuhan jika tidak disertai sarana atau wadah. Untuk itu, Tuhan menjadikan wadah bagi kehidupan tersebut. Nur Muhammad yang bersifat makhluk itu terurai menjadi bagian-bagian terpisah yang masih halus. Inilah alam misal. Di dalamnya terkumpul berbagai jenis makhluk, seperti Malaikat, jin, iblis, jiwa manusia , surga, neraka, dan sebagainya. Dalam Alam misal ini manusia sudah ada namun masih berbentuk jiwa. Ia belum memiliki raga. Selanjutnya Tuhan menampakkan Dzatnya sebagai wadah perbuatan, nama, dan sifatnya, sehingga muncullah alam ajsam.

Pada alam ajsam ini, Tuhan menampakkan diri secara menyeluruh. Raga adalah perwujudan rupa dirinya. Perbuatan, nama dan sifat alam semesta adalah wajahnya. Semua itu terbungkus dalam sifat kemakhlukan yang serba mendua, ada hitam dan putih, ada baik dan buruk, ada senang ada sedih. Jadi, hidup sebagai makhluk selalu diliputi sifat ketidaksempurnaan. Lain halnya Dzat Tuhan yang mandiri, langgeng, tunggal, tidak tersentuh rasa lapar, ngantuk, sakit dan sedih.

Setelah mengetahui hakikat diri secara menurun ini, maka tahulah bahwa alam semesta ini pada hakikatnya adalah gambaran rupa Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena dibekali kemampuan untuk mendaki dan menyatu dengan Dzat maulana wajibul wujud hingga menjadikan dirinya sebagai wakil tuhan di dunia. Inilah manusia sempurna, manusia yang telah sampai pada hakikat dirianya, yakni Dzat yang sempurna. Hidup Sejati sebagaimana yang di ajarkan oleh para Wali, yang bermuara pada penyatuan kepada NYA.

TARAQI(MENDAKI)

Kehidupan yang di lihat orang-orang ini adalah kehidupan paling luar, fisik semata. padahal fisik atau jasmani ini adalah hijab atau penghalang Tuhan yang paling luar. Kebanyakan orang tertipu oleh penampakan jasmani ini. Manusia yang hidupnya hanya beroientasi pada fisik semata, ia tidak lebih seperti bangkai. Fisik manusia tidak ada bedanya dengan fisik hewan, tumbuhan, dan benda-benda bumi lainya.

Semuanya berasal dari unsur tanah, air, api, udara, kenyataanya hampir semua orang saat ini lebih disibukkan dengan urusan fisik ini. Menjadikan fisik ini sebagai tolak ukur dalam hidupnya. Banyak sekali contoh yang bisa di lihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Maka lengkaplah kebanyakan manusia lebih disibukkan dengan urusan-urusan fisik semata sehingga semakin tebal dinding untuk dapa melihat Tuhan.

Manusia adalah makhluk yang berjiwa ia di beri anugerah akal untuk dapat berpikir. Inilah yang membedakan derajat manusia dengan makhluk yang lain. Manusia juga di beri anugerah hati agar dapat merasakan. Manusia yang telah mampu mengaktifkan akal dan hatinya berarti ia telah selangkah lebih maju di bandingkan manusia yang sekedar mengandalkan kelebihan fisik semata. Ia telah mampu menggunakan akal dan hatinya namun Tuhan memberikan akal dan hati inipun rupanya bertingkat-tingkat.

Kerja akal manusia yang paling bawah adalah ‘aql atau akal, sebagaimana di sebutkan dalam alqur’ANAFALAA TA’QILUN. Kerja akal ini adalah memikirkan segala sesuatu yang bersifat kealaman. Dengan menggunakan akal ini akan ditemukan kebenaran dan kesalahan serta kebaikan dan keburukan, dalam perspektif duniawi. Demikian pula dengan kerja hati ia juga memiliki beberapa tingkatan, yang terendah adalah qalb atau hati yang selalu berbolak-balik, kadang baik kadang buruk. Manusia yang hanya menggunakan kerja ‘aql dan qalb ini cenderung akan serakah pada dunia. Ia akan rakus mencari uang. Kalaupun berbuat baik, lebih sering hal tersebut di sertai dengan pamrih lainya.

Inilah hijab Tuhan yang lebih tipis dibandingkan dengan fisik. Setidaknya manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati yang pertama ini akan lebih mudah mengenal tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasi pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal kedua, yakni Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini namun nyata kebenarannya seperti”: surga, neraka, malaikat, setan, pahala, dosa dan sebagainya.

Agama Islam diturunkan dengan membawa kabar gembira tentang adanya surga beserta kenikmatanya yang ada didalamnya. Juga membawa peringatan kepada manusia tentang adanya siksa yang pedih di akhirat kelak. Kebanyakan manusia sulit untuk dapat mengenal tuhan secara sempurna, maka Nabi Muhammad SAW diutus untuk memberikan jalan tengah agar mereka menyembah Tuhan sesuai kemampuanya.

SHOLAT

Dalam shalat itu terdapat empat perkara. Pertama, adalah ihram; kedua miraj, ketiga munajat, dan keempat tubadil. Yang dimaksud dengan ihram adalah penglihatan. Miraj adalah di atas penglihatan, yaitu hakikat tunggal. Munajat adalah satu perkataan dari satu penglihatan, yaitu hilangnya tunggal. Tubadil adalah merasakan gerak dirinya itu adalah gerak Tuhan sebagai hakikat tunggal. Jika empat perkara itu sudah terkumpul menjadi satu, maka hamba tersebut telah tenggelam pada zat Allah yang mutlak, dan telah berenang timbul pada sifat Hayyun (Hidup). Menurut Hukum hakikat, jika seseorang yang shalat belum seperti itu, maka termasuk penyembah berhala.

Shalat itu terdiri atas empat macam, yaitu : pertama, shalat syariaat dengan cara melakukan ruku, sujud, dan duduk. Kedua, shalat tarikat dengan cara menjernihkan hati dan perasaan kibir. Ketiga shalat hakikat dengan cara menjernihkan hati dan nafsu lawwamah dan amarah. Keempat, shalat marifat dengan cara hatinya terus menerus melihat Allah, dan meninggalkan selain Allah. Itulah yang disebut dengan shalat daim, yaitu hatinya selalu ingat kepada Allah. Namun tarikat ini tetap mengajarkan shalat sesuai dengan syariat dengan jiwa shalat daim.

MAKRIFAT SYUHUD

Tuhan itu nyata dalam diri hamba tanpa tabir. Untuk melihatnya melalui ruhani dengan proses : Jasad-Rahsa-Allah. Junaidi al-Baghdadi dan Abu Yazid al-Bustami berkata :Artinya : wujud itu sebagai penghalang. Tak lain dan tidak bukan wujudmu yang majazi. Maksudnya, dengan merasakan bahwa hamba itu berwujud, maka akan menjadi penghalang untuk marifat pada Allah. Dengan kata lain, seseorang tidak akan dapat fana jika merasa dirinya berwujud. Untuk itu proses yang ditempuh melaui : Jasad-rahsa (sirr)-Allah. Jasad lebur menjadi nyawa, nyawa lebur menjadi rahsa. Rahsa lebur sirna pulang pada jati dirinya, yaitu hanya Allah yang wujud yang tidak berubah. Hal ini seperti pernyataan Pangeran Giri : Pulang-mati-hilang. Yang mati adalah nafsu, yang pulang adalah rahsa, yang hilang adalah penglihatan jadi lebur pada Allah. Muhammad juga lebur pada Allah. Allah bersabda dalam hadis qudsi : Artinya : Manusia itu adalah rahsa (sirr) Ku, dan Aku adalah sirr manusia. Dari sini nampak bahwa hamba dan Tuhan itu berbeda, di mana sirr manusia digunakan untuk syuhud pada Allah. Setelah manusia mati, sirr kembali kepada Tuhan.

Orang-orang sufi telah membicarakan marifat dan tauhid dalam arti mengenal Tuhan secara langsung dengan pandangan batin yang telah mendapat pencaran-Nya, dan tenggalam dalam keesan-Nya yang mutlak itu sedemikian rupa, sehingga yang dipandang ada hanya Dia (Fariduddin Attar, 1905 : 127). Bagi sufi, nampaknya, Tuhan itu bukan hanya dikenal melalui dalil-dalil dan pembuktian akal atau melalui wahyu yang disampaikan oleh para nabi itu saja; tetapi dapat juga dikenal secara langsung, melalui pengalam ruhani, apabila mata hati yang berada dalam diri manusia itu mendapat pancaran sinar Ilahi -setelah mencapai tingkat kebeningan yang layak untuk menerima anugerah yang tidak ternilai itu. Tetapi, bila pengenalan langsung (marifah) itu telah dicapai, diri yang mengenal lalu kehilangan wujudnya dalam Wujud yang dikenal itu karena dalam pandangan orang arif yang sudah sampai ke sana, yang ada hanya satu saja; Allah. Di antara para sufi ada yang mengungkapkan pengalaman kesufianan seperti itu sebagai persatuan (ittihad) dengan Tuhan dan ada pula yang mengatakan bahwa Tuhan telah bertempat di dalam dirinya (hulul).

SENANTIASA BERDZIKIR

Metode berzikir tujuannya untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kita melakukannya dengan menjalani shalat, puasa, membaca al-Quran, naik haji dan berjihad. menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketis atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan selalu berusaha mensucikan hati. Zikir inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT. Setidaknya ada tujuh macam zikir mukadimah, sebagai pelataran atau tangga yang disesuaikan dengan tujuh nafsu manusia. Ketujuh mcam zikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam zikir itu sebagai berikut :

ZIKIR THAWAF, yaitu zikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan Laa ilaha ( ) sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah ( ) yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat berserangnya nafsu lawwamah.

ZIKIR NAFI ISTBAT, yaitu zikir dengan La ilaha illallah ( ), dengan lebih mengeraskan suara nafinya, La ilaha ( ), ketimbang itsbatnya, illallah ( ), yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam empunya asma Allah.

ZIKIR ITSBAT FAQAT, yaitu berzikit dengan illallah ( ) 3 kali, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.

ZIKIR ISMU ZAT, yaitu zikir dengan ; Allah ( ) 3 kali, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.

ZIKIR TARAQI, yaitu zikir ; Allah- Hu ( ), 2 kali. Zikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Zikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.

ZIKIR TANAZUL, yaitu zikir Hu- Allah ( ) 2 kali. Zikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Zikir ini dimaksudkan agar seorang salik selalu memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.

ZIKIR ISIM GHAIB, yaitu zikir Hu, Hu, Hu ( ), dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah ke dalam rasa

Ketujuh macam zikir di atas didasarkan kepada firman Allah ; Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit), dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami (Q.S 23 : 17).

Demikian apa yang bisa disampaikan pada kesempatan yang mulia ini. Semoga ada manfaatnya untuk kita semua….

Dalam ruang iman dan kebijaksanaan,

Kematian tubuh berarti kehidupan jiwa

Korbankanlah nafsu tubuh,

Hingga kau bisa tinggal dalam kesadaran alam ruh

Ilmu Laduni Dalam Islam

http://dapalan.com/Hqw3






ILMU LADUNI DALAM ISLAM


Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( QS Al Baqarah : 32 )

Diantara pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas adalah :

Bahwa semua ilmu yang dimiliki makhluq hidup di bumi dan di langit adalah ajaran dari Allah swt, termasuk ilmu yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian, kita katakan bahwa semua ilmu yang dimiliki oleh manusia adalah Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang berasal dari Allah swt . Timbul suatu pertanyaan, apa sebenarnya hakikat ilmu laduni menurut pandangan Islam ? apakah seperti yang sering di pahami orang-orang sufi selama ini atau ada arti lain yang lebih benar.

Pengertian Ilmu Laduni

Menurut Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu laduni dalam pengertian umum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).

Bagian pertama :

Bagian pertama ini, terbagi menjadi dua macam:

1. Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khidhir:


Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)

Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam:

“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”

Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf sampai datang ajal kematiannya.

2. Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih.

Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.

Bagian Kedua :

Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.

Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam. [1]

Bagaimana Ilmu Laduni menurut orang-orang sufi ?

Ilmu Laduni menurut Sufi adalah sebagai berikut :

1/ “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits, tidak bisa mendapatkannya.

2/ “Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidlir alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan: “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”

3/ Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.

Untuk menafsirkan sebuah ayat atau untuk mengatakan derajat suatu hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka”Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.”

Sehingga, akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf). [2]

Salah satu fenomena Ilmu Laduni yang terjadi dimasyarakat adalah apa yang di alami oleh seorang kyai salah satu pendiri Pondok Pesantren di salah satu kota di Jawa Timur .

Kyai yang mempunyai 150-an santri itu mengaku bahwa dirinya mempunyai Ilmu Laduni . Dengan Ilmu Laduni yang dimiliknya, sang kyai tersebut mengaku mampu mengajarkan seseorang untuk menguasai berbagai bahasa dengan tanpa bantuan alat pun, baik video, kaset bahasa asing, laboratorium bahasa, apalagi native speaker. Tetapi cukup para muridnya menjalani beberapa ritual, seperti mandi dan membaca beberapa do’a dan sebagainya. Seseorang yang ingin belajar dengan sang kyai ini dipungut biaya Rp 1 juta. Atau Rp 350.000, tergantung pada level yang ia masuki .Sang kyai tersebut mengaku mendapatkan ilmu laduni itu dari Nabi Khidir AS melalui ritual tirakat (lelaku, bertapa). Tirakat tersebut dimulainya sejak usia tujuh tahun. Dan biasanya dilakukan di tepi laut sambil mencari ikan. Pada usia sekitar 12 tahun, sang kyai tersebut mengaku bertemu dengan Nabi Khidir AS di tepi laut. Dalam pertemuan itu, menurutnya bahwa wujud Nabi Khidir AS berupa seorang manusia yang mengenakan pakaian seperti rakyat biasa. Kemudian nabi Khidir mengangkatnya sebagai muridnya.. [3]

Bantahan Singkat Terhadap Kesesatan di atas :

1. Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimulyakan oleh Allah dengan ilham. Abu Bakar radhiallahu anhu diilhami oleh Allah bahwa anak yang sedang dikandung oleh isterinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa ilham atau ilmu Ilahi itu termasuk sebagian balasan amal shalih yang diberikan Allah di dunia ini. Jadi tidak ada dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam:”Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.” (Al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Anas radhiallahu anhu, hadits dhaif).

Ini sesuai juga dengan firman Allah swt dalam surat Al Baqarah : 282

“ dan bertaqwalah kamu kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu”

Firman Allah di dalam surat Al Hijr : 75

“ Dan sesungguhnya pada peristiwa tersebut ( hancurnya kaum Luth ) merupakan tanda bagi orang- orang yang mempunyai firasat “

Perlu di garis bawahi disini, bahwa orang yang punya kelebihan tersebut tidak akan mengaku- ngaku atau mengumumkan ilmu yang ia miliki di depan umum, apalagi sengaja untuk dikomersialkan demi mencari kekayaan dunia. Sungguh hal ini tidak sesuai dengan ruh ajaran Islam yang mengajarkan uamtnya untuk tidak riya’, apalagi menggunakan agama sebagai kendaran untuk mencari dunia. [4]

2.Nabi khidir – menurut sebagian para ulama- diutus kepada kaum tertentu, sebagaimana nabi Musa as hanya diutus kepada bani Israil. Dan suatu hal yang sangat wajar sekali, apabila di satu zaman ada dua nabi atau lebih. Buktinya ?

Dalam surat Yasin ayat 13-14,Allah berfirman :

“ Berikan ( wahai Muhammad ) kepada mereka sebuah permitsalan para penduduk suatu negri , ketika datang kepada mereka para utusan Allah . Ketika Kami utus kepada mereka 2 orang rosul, maka mereka mendustakan keduanya, maka Kami perkuat dengan rosul yang ketiga, mereka berkata ; “ Sesungguhnya kami adalah utusan Allah kepada kamu sekalian “

Contoh yang lain adalah nabi Ibrohim, Ismail, Ishaq dan nabi Luth mereka hidup dalam satu zaman, begitu juga nabi Daud dan Sulaiman, nabi Ya’qub dan Yusuf , nabi Musa , Harun dan Syu’aib, dan terakhir nabi Zakaria, Isa dan Yahya.

3. Nabi Khidir as juga bukan pengikut nabi Musa as dan tidak diperintahkan untuk mengikutinya , sehingga boleh-boleh saja bagi nabi Khidir berbuat tidak seperti apa yang diajarkan nabi Musa as, karena setiap nabi mempunyai manhaj dan syareah yang berbeda-beda. Kemudian setelah itu datang seseorang mengaku sebagai wali Allah dan mempunyai ilmu laduni , sehingga membolehkan dirinya keluar – atau tidak mengikuti syareah yang di bawa nabi Muhammad saw. Na’udzibillahi mindzalik
Jangankan dia….yang namanya nabi Isa as saja, nantinya kalau turun ke bumi lagi untuk membunuh Dajjal, akan ikut dan patuh dengan syareat nabi Muhammad saw.[5]

4.Adapun pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan ada orang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang mengambil ilmu langsung dari Allah kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah. 5.Anggapan bahwa ilmu syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan untuk merusak Islam. Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari cahaya Islam.

6.Anggapan bahwa dengan “ilmu laduni” sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan: “Setiap hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).” [6]

7. Seseorang yang mengaku mendapatkan Ilmu Laduni, sebagaimana yang di dapat oleh Nabi Khidir as, sama saja ia mengaku mendapatkan wahyu dari langit, karena yang didapat nabi Khidir adalah wahyu. Seseorang bisa mengetahui ilmu ghoib dengan perantara Jin atau Syetan , karena Jin dan Syetan sering mencuri pendengaran tentang hal-hal ghoib dari langit. Sebagaimana firman Allah didalam surat Al Hijr : 17-18,

Dan Kami jaga langit2 tersebut dari syetan yang terlaknat, kecuali mereka yang mencuri pendengaran ( dari hal2 yang ghoib ) , maka dia akan dikejar oleh batu api yang nyata “

Ayat – ayat senada juga bisa dilihat di dalam surat As Shoffat :10 dan Surat Jin : 9.

8. Seseorang yang mengaku mempunyai ilmu laduni dengan perantara ilmu-ilmu kanuragan ( ilmu kesaktian ) yang ia dapatkan dengan latihan-latihan tertentu, seperti bertapa di tengah sungai selama 40 hari 40 malam, atau puasa selama 40 hari berturut-turut, atau dengan hanya makan nasi putih saja tanpa lauk dalam jangka waktu tertentu atau dengan cara-cara lain yang sering dikerjakan sebagian orang. Maka kita akan tanyakan kepadanya, apakah cara-cara seperti itu pernah diajarkan oleh Rosulullah saw dan para sahabatnya atau tidak ? kalau jawabannya tidak, berarti dia mendapatkan ilmu tersebut dengan meminta bantuan dari jin dan syetan.Sebagaimana seseorang bisa menjadi kaya mendadak dengan meminta bantuan Jin dan Syetan. Perbuatan seperti ini dilarang oleh Islam, sebagaimana firman Allah didalam surat Jin : 6

“ Dan sesungguhnya ada diantara manusia yang meminta perlindungan dari segolongan Jin , maka segolongan Jin itu hanya aka menambah kepada mereka kesusahan. “

Kita dapati banyak orang pada zaman sekarang yang memelihara Jin untuk memperoleh kekayaan dengan cepat, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah kesusahan. Mereka akhirnya mati secara mengenaskan karena menjadi “ tumbal” Jin yang ia pelihara … Sungguh Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.